WELCOME TO EMBUN DELTA

M. Tholhah Al Hadi, S.S.

Aku Akan Selalu Merindukanmu

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pages

Minggu, 19 September 2010

AGAMA SUMBER PERTIKAIAN?

13 September 2010

Akhir-akhir ini masyarakat kembali dihadapkan pada persoalan penusukan dua anggota Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) oleh orang yang tidak dikenal di Bekasi. Peristiwa ini seakan menjadi kado istimewa bagi bangsa Indonesia di hari lebaran tahun ini. Kiranya masih kental dalam ingatan kita di mana kita baru saja di hantam berbagai persoalan bangsa. Maraknya ledakan tabung gas elpiji beberapa bulan yang lalu, hingga kini masih belum tuntas dan (bahkan) sampai sekarang masih saja terjadi. Kasus Bank Century, pemilihan ketua KPK, Gunung Sinabung meletus, Gayus Tambunan, Ahmadiyah vs ormas Islam radikal, dll. Bangsa Indonesia yang plural pun kini kembali diuji bagaimana kita menghadapi keberagaman.

Konflik atas nama agama memang bukan persoalan baru di era modern. Kita tentu tidak asing lagi dengan tragedi Serbia dan Bosnia yang menewaskan ribuan umat muslim, dan tragedi Holocoust yang mengakibatkan terbunuhnya ribuan kaum Yahudi. Namun, yang lebih memprihatinkan, konflik ini tidak hanya berlaku antar agama, melainkan antar umat seagama. Pertikaian antara muslim Sunni dan Syi’ah di Iran masih terasa sampai sekarang, begitupun permusuhan yang dibangun kelompok Taliban serta kelompok fundamentalis lain di Tmur Tengah.

Tidak mau kalah dengan ‘seniornya’, di Indonesia – dalam beberapa dekade ini – juga kerap terjadi konflik internal sesama muslim. Kali ini aktornya adalah beberapa ormas Islam yang melakukan tindakan anarkisme terhadap segala bentuk ‘maksiat’. Bahkan atas nama agama, beberapa diantara mereka rela melakukan bom bunuh diri di tempat-tempat yang mereka ‘anggap’ sarang turis Australia, Amerika, dan Inggris. Pada dasarnya, mereka pastinya sadar, bahwa di sana juga ada umat muslim yang menjadi korban kekerasan dan (lebih-lebih) bom bunuh diri. Alasan tindakan tersebut pun masih saja klasik, yakni sebagai reaksi atas kekejaman Amerika dan Israel di Palestina, serta sebagai aksi simaptik untuk rakyat Iraq dan Afghanistan. Selain mencoba menanamkan konsep khilafah di muka bumi, mereka juga melestarikan ideologi anti-pluralisme, karena hal tersebut dianggap salah satu nilai yang berakar dari Barat.

Sejarah telah berbicara bahwa konflik atas nama agama sejatinya sudah muncul di masa Nabi-Nabi terdahulu, namun konflik tersebut lebih dominan kepada konflik antar agama. Namun, konflik antar sesama agama (Islam) setidaknya muncul setelah Nabi Muhammad wafat. Pada mulanya, pertikaian itu dilatarbelakangi motif ka-tauhid-an, yang kemudian berkembang menjadi persoalan politik dan kekuasaan. Dalam hal ini, terbunuhnya Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib di tangan sesama muslim adalah bentuk nyata bahwa pada saat itu hingga sekarang kita (umat Islam) belum bisa menghargai makna keberagaman (pluralisme) dalam kehidupan. Bagaimana bisa menciptakan kerukunan antar umat beragama jika persoalan intern seagama saja masih morat-marit.

Jika direnungkan lagi, setidaknya ada tiga konsep hubungan dalam beragama; hubungan antar seagama, hubungan antar lintas agama, dan hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Bahkan oleh Dr. Muqsith Ghozali menambahkan dengan hubungan antara manusia dengan alam. Jadi, semua unsur tersebut harus dijalankan dengan baik untuk menciptakan kehidupan yang dinamis. Artinya, kerukunan itu akan terwujud seiring bagaimana kita bersikap kepada saudara seagama kita, bagaimana sikap kita kepada orang yang berbeda keyakinan terhadap kita, bagaimana kita melaksanakan perintah-perintah Tuhan, serta bagaimana kita menjaga lingkungan sekitar kita.

Sejarah telah berbicara bagaimana agama telah dijadikan alat paling sederhana untuk memecah belah umat, seakan Agama adalah akar pertikaian di dunia. Peristiwa penusukan dua anggota AKBP, Ahad (12/9) memang terlihat sepele, namun dampak yang sangat mungkin berkembang adalah rasa empati antar pemeluk agama. Kalau kita membenci umat beragama lain, bukankah itu berarti tugas dakwah sudah berakhir! Buat apa Nabi hijrah ke Madinah—yang pada waktu itu penduduknya masih Yahudi—kalau tidak untuk menyebarkan Islam dengan lembut. Wali Songo pun dakwah di Jawa yang notabenenya sangat kental dengan Hindu-Budhanya. Kalau perlu, seharusnya dakwah tidak lagi di masjid atau musholla, melainkan di tempat prostitusi, Maluku, Papua, Amerika, dan negara-negara Barat. Masuk Islamnya seseorang tidak disebabkan oleh manusia. Semua itu tidak lain adalah karena hidayah Allah, yang Maha Penguasa. Dia memberikan pelajaran kepada kita bagaimana menghadapi perbedaan.

Saya yakin, pada dasarnya kita semua pasti menginginkan terciptanya perdamaian di dunia. Tidak ada peperangan, pembunuhan, perampokan, dan segala jenis kekerasan. Bahkan negera-negara yang tergabung dalam PBB menciptakan sebuah lembaga yang khusus menangani keamanan dunia, yakni Badan Keamanan PBB. Namun yang terjadi di dunia tetaplah sunnatullah. Semuanya beraneka ragam; adanya baik karena adanya buruk. Tidak ada seorangpun yang mampu menyeragamkan alam semesta kecuali Allah. Sekarang, tinggal bagaimana kita belajar dari peristiwa-peristiwa keberagaman. Semoga Allah memberikan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin. Wallahu a’lam

Tulisan sederhana ini sekedar untuk mengenang perjuangan almarhum almaghfurlah KH. Abdurrahman Wahid.