WELCOME TO EMBUN DELTA

M. Tholhah Al Hadi, S.S.

Aku Akan Selalu Merindukanmu

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pages

Minggu, 21 Maret 2010

2nd winner of culture festival


Rame-Rame



Cuban Rondo, Malang 22 Juni 2008






Tak Selamanya Sempurna





Muhammad Tholhah Al Hadi

Malang, 21 Maret 2010
18.45 WIB

Perjalanan hidup anak manusia di dunia memang penuh warna. Ada saat keemasan dan ada pula masa di mana keterpurukan harus dirasakan. Saat seseorang mendapatkan apa-apa yang diinginkannya, mungkin saat itulah yang dia menganggap bahwa hidupnya sempurna. Namun pada saat yang berbeda, orang akan menghukumi dirinya sendiri sebagai orang yang paling ‘sial’ di dunia oleh karena dia jarang sekali – dan bahkan tidak pernah – mendapatkan apa yang menjadi impiannya. Semuanya seolah-olah hanya ditentukan oleh satu periode.

Misbachul Amri, MA. (dosen mata kuliah Cultural Background fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maliki Malang) pernah sedikit membahas tentang kesempurnaan hidup. Mungkin bagi sebagian orang menganggap bahwa kesempurnaan adalah manakala dia cantik/ tampan, kaya, rajin ibadah, dan lain sebagainya. Namun anggapan itu ternyata tidak sepenuhnya benar, karena kesempurnaan itu akan terlahir manakala seseorang punya keduanya; kekurangan dan kelebihan, pernah sakit dan merasakan sehat, dan sebagainya. Dan itulah manusia; wa maa khlaqna al insaana fii ahsani taqwiim.

THE DEATH OF GOD's CELEBRATION




Muhammad Tholhah Al Hadi

10/03/2010

Every single part in this universe is the creation of God, including human, animal, planet, sun, moon, plant, air, and even atom. We could not deny that we are nothing without other people and his creations. In other words, the essence we are created in this world is that to socialize each other. Thus, in the context of Islamic view, we would find two kinds of relationship; the first is relationship between one and others in which is called as ‘horizontal line’, then the second one is relationship between people and their God which is called as ‘vertical line’. Horizontal Line here could be described with socialization in a sociaty, respect each other, and so on. From this way, people may tend to consider themselves as a social personality. In other hands, Vertical Line in this context defined as a relationship between people and their God. Then, this is what I am going to explore deeper in terms of how vertical and horizontal line having the same essential part in this life.

One of the five basic principles of the Republic of Indonesia (Pancasila) is the belief in one God Almighty. That is the first and even the most important point for people of Indonesia; it speaks for itself that every single person must believe in God. In this case, the belief in one God does not mean only Islam, buat also other religions. However, it seems to be commonplace around us in which the existence of God is ‘nothing’. One side, more than 80% people of Indonesia are Muslim, and this makes Indonesia being able to be the greatest Muslim population in worldwide. But unfortunately Indonesia also becomes ‘the winner’ for corrupting among Pacific Asian. This research have newly made by PERC (Political and Economic Risk Consultancy) in Hongkong. They even said that Indonesia does not have any foundation yet in terms of overcoming a huge corruption. In addition, thousands of officeholders are free to corrupt as much as they want. Automatically these curruptors are growing up continuously as a result of the badness of criminal justice we have. One thing we might ask a question, don’t they have any belief of religion?

Another phenomenon, some conservative Muslim in Indonesia still keep ‘radical’ thought in their mind. Basically, they want to change what Indonesia has already had, that is the first principle of Pancasila, with Islamic concept. In other words, they have an important mission to change Democracy of Pancasila with Islamic system. In this case, they often force, intimidate, even ‘strike’ others whom different with their concept while they are also Muslim. The most ‘dangerous’ thought of theirs is that they think that people who are not obedient with Islamic rules are allowed to be killed. In recent times, we see that Islam in general has been identified as terrorism, even in Indonesia. This is the fact that there are many places have been exploded by reason of responding to United State, England, and Australia. When we know that the ‘protagonist’ here is a Muslim, how do we feel as a Muslim also? That works against Islamic image itself, doesn’t it? Furthermore, that means that they intuitively deny the plurality of His creatures, don’t they?

Naturally, each person around the world are given by God to be able to identify where is the right and the wrong without considering the eyes of their ethnic, religion, and group. Nothing belief or religion which educates their people to do crime and disturbance. Before doing crime, thief or corruptors are consciously understand that what they do is wrong. But finally they still decided to do it while they are politicians, officeholders who definitely ever been studied for years even from Islamic school or University. In addition, some ‘people’ of Indonesia – who are still lack of comprehension about Islam but they often react in the name of Islam – should learn more the essence of Islamic teaching. The Almighty God creates His creations differently, it is impossible to force others being the same or similar even permit to kill others. They believe and love in God but they kill His creatures, what’s wrong with these?

Those two phenomena are only simple description, because there are thousands more examples which identify the existence of ‘the Death of God’. In general, not only politicians who would be classified as people who celebrate the ‘death of God’ but also all of components involving us. Finally, Century case, bomb terror, and any kinds of corruption in this beloved nation must be removed. Indeed, it is not easy but what should we do now is that decrease and minimize them in order to create prosperous of Indonesia in the future. Finally, I would like to say that Indonesia is not Europe, Indonesia is not United States, Indonesia is not Australia, and Indonesia is not Arab. On the contrary, Indonesia is Indonesia, Islamic Indonesian is not Arabian’, and ‘God must be alive’ in Indonesia generally and specially in our daily life.

JELANG PEMILU RAYA




Rata Penuh
Muhammad Tholhah Al Hadi
Malang, 21 Maret 2010
18.00 WIB

Minggu-minggu ini ada yang terlihat berbeda di lingkungan UIN Maliki Malang. Hampir di setiap sudut ‘kampus hijau’ ini terpasang foto-foto calon pemimpin HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan), SEMA (Senat Mahasiswa) atau sebelumnya lebih dikenal sebagai BEM-F (Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas), dan BEM-U (Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas). Simbol-sombol dan jargon partai mulai mendominasi kegiatan sehari-hari mereka, seolah menenggelamkan kegiatan formal akademik yang sakral. Ya, pemilu raya di lingkungan civitas akademika UIN Maliki Malang akan segera bergulir hanya dalam hitungan jam ke depan. Siapakah yang akan menjadi ‘pemenang’?

Setelah kemarin masing-masing kubu sibuk mengadakan penyaringan kandidat (secara intern) untuk diajukan ke Pemilu Raya, kini mereka disibukkan kembali dengan penyusunan strategi guna mendapatkan suara sebanyak-banyaknya; mulai dari menyebarkan SMS, update di facebook, sampai mungkin pada ‘gerakan fajar’ esok. Selama masa kampanye berlangsung, tidak jarang kedua kubu saling melemparkan visi dan misi terbaik mereka guna menarik simpati dari para mahasiswa.

Namun dibalik semua itu ada hal yang sangat patut disayangkan. Pada agenda-agenda tertentu, di sana tidak jarang kita menemukan konflik yang berkepanjangan, yang ujung-ujungnya adalah untuk kepentingan kelompok sendiri-sendiri. Hal ini tentu sangat bertolak belakang dengan cita-cita bangsa, di mana peran mahasiswa sangat dibutuhkan guna terciptanya demokrasi di setiap bidang. Dan pada Pemilu Raya tahun ini, aroma persaingan dari satu partai dengan partai lainnya semakin terasa, hal ini dikarenakan kursi jabatan yang akan diperebutkan akan melibatkan dua kubu yang akan bersaing secara ketat, berbeda dengan yang lalu di mana hanya ada satu calon tunggal dari satu partai.

Kita tentunya masih ingat bagaimana panasnya tensi persaingan pada Pemilu Raya tahun lalu. Satu pihak menyelenggarakan pemungutan suara, namun di pihak yang lain terjadi kerusuhan dan bahkan pembakaran ratusan lembar kertas suara. Kalau pada saat itu kerusuhan terjadi karena hanya ada satu calon tunggal (memang tidak hanya karena itu mereka melakukan pembakaran, namun saya kira inti dari kerusuhan pada saat itu adalah ketidaklolosan partai lain di Pemilu Raya sehingga pada akhirnya hanya memunculkan seorang calon tunggal dari satu partai). Dari peristiwa tersebut mungkin kita akan semakin penasaran apa yang akan terjadi besok (22/03). Akankah peristiwa itu akan pecah kembali (dengan alasan yang berbeda tentunya)? Semoga saja tidak.

Saat melihat kondisi seperti tadi, saya sedikit teringat apa yang diungkapkan ketua PBNU KH. Hasyim Muzadi pada rubrik Sosok, Jawa Pos edisi Sabtu, 20/03. Dia melihat sebuah paradoks dalam dunia pendidikan saat ini. Menurutnya, mahasiswa di universitas umum kini cenderung terlibat dalam gerakan-gerakan Islam fundamentalis, terutama mahasiswa dari kelompok ilmu eksakta. Sebaliknya, mahasiswa di universitas Islam justru cenderung menganut aliran liberal.
“Mungkin mahasiswa di universitas Islam itu asal pondok, bertahun-tahun jadi santri, sehingga bosan saleh, pengin sekali-kali nakal. Sebaliknya, mahasiswa-mahasiswa umum justru merasa kering dan menemukan kesejukan di gerakan fundamentalis,'' kata pengasuh Ponpes Al-Hikam, Malang, itu.

Lanjutnya, dia menyatakan cukup prihatin melihat anggota-anggota HMI atau PMII yang sejatinya diharapkan menjadi intelektual muda Islam, namun kini tidak lagi intens berdiskusi dalam bidang keislaman. Mereka cenderung lebih banyak bergerak dalam tataran politik praktis. Seperti inilah kurang lebih redaksi beliau ketika menyentil generasi muda muslim sekarang: ''Anak-anak HMI dan PMII itu tidak lagi ngaji di kampus, tapi pilih bakar-bakar ban. Seakan-akan bakar-bakar ban itu lebih heroik daripada ngaji.''

Bagi saya pribadi, siapapun yang nantinya menjadi pemimpin HMJ, SEMA/ BEM-F, ataupun BEM-U tidaklah penting. Yang kita butuhkan sekarang adalah terciptanya rekonsiliasi antar organisasi intra kampus (HMI, PMII, IMM, KAMMI, dan lain sebagainya). Memang terlihat remeh, namun itulah hal mendasar yang selama ini kita tidak pernah melihat titik temunya. Lebih dari itu adalah upaya refleksi diri akan peran mahasiswa sebagai penerus bangsa, tidak hanya menonjolkan diri sebagai orator handal di tengah kerumunan pendemo. Karena para aktivis itulah yang pada akhirnya nanti ‘mungkin’ akan bertempat di gedung DPR-MPR. Kita tentu tidak ingin ada ‘anak play group’ lagi di sana. Akhirnya, semoga ‘kampus hijau’ UIN Maulana malik Ibrahim Malang umumnya dan para aktivis organisasi intra secara khusus, nantinya bisa menjadi uswah hasanah bagi seluruh anak manusia.

Sabtu, 20 Maret 2010

EDISI Lamongan


Menelusuri samudera harapan

Lulu' Farichah's Wedding

Saat-saat penyerahan thropy SAMSARA kepada mempelai Lulu' dan Arif
(ketegaran yang sedang di uji)

saat narzizzzz




WISATA BAHARI LAMONGAN (part II)



WISATA BAHARI LAMONGAN (part I)


Wisata Bahari Lamongan
Edisi Magang (PP. Sunan Derajat)


Wisata Bahari Lamongan (7 Maret 2010)
Dokumentasi Suara Akademika UIN Maliki Malang




HAMBA KECIL



Muhammad Tholchah Al Hadi
Malang, 5 Desember 2010

Aku, seorang hamba kecil yang hanya punya mimpi-mimpi tak berujung. Kutemukan saat-saat bahagia ketika kudapatkan mimpi-mimpi itu. Namun tak jarang juga ku harus bersabar menunggu mimpi-mimpi itu menjadi nyata. Pun hingga harus kudapatkan saat mimpiku hilang terimbun oleh tanah.

Aku, seorang hamba kecil yang hanya punya mimpi-mimpi tak berujung. Kalaulah memang aku tak bisa merangkai deretan kata-kata indah tuk merayu, aku masih punya mimpi indah yang menghiasi tidur malamku. Itu semua lebih dari cukup tuk sekedar mengobati sesak naafasku.


Aku, seorang hamba kecil yang hanya punya mimpi-mimpi tak berujung. Pernah ku temukan masa ketika aku terluka oleh mimpi, namun luka itu perlahan terobati saat satu masa datang. Masa di mana hati terpaut oleh makhluk Tuhan yang indah. Mungkinkah ini sebuah fatamorgana?


Aku, seorang hamba kecil yang hanya punya mimpi-mimpi tak berujung. Entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan mimpi ini, meski sadarku bilang aku tak pantas bersanding sebagai pengantinnya. Dia terlalu sempurna untuk hamba yang hanya punya mimpi-mimpi tak bermakna.


Dia adalah salah satu mimpi yang masih tersisa. Namun berhenti berharap adalah jalan satu-satunya tuk sekedar bangun dari mimpi, mengambil air wudlu, dan kemudian membangun kembali mimpi-mimpi sampai pada saatnya mimpiku terhenti oleh ajal.

KRITIK VS REAKTIF


Muhammad Tholchah Al Hadi
Malang, 17 Maret 2010
10.15 WIB

“Dikritik itu memang menyakitkan, namun lebih menyakitkan kritik yang tidak didengar.” “Ditolak itu memang menyakitkan, namun akan terasa lebih menyakitkan jika perasaan itu terus terpendam.” Dua keadaan yang tertuang di kalimat atas sangat mungkin pernah dialami oleh sebagian orang, bahkan penulis sendiri. Namun kebenaran akan ungkapan diatas mungkin dipandang masih relatif oleh sebagian orang yang menyangsikan. Hal ini sering terjadi manakala sebuah teori hanya bergulir tanpa dibarengi dengan pengalaman atau sesuatu yang bersifat aplikatif. Dalam konteks ini, siapapun pastinya pernah mengkritik meskipun dengan cara yang variatif. Kecenderungan orang untuk memberikan kritik memang tengah menjamur disekitar kita. Kita mungkin cenderung bersikap reaktif terhadap suatu problematika atau fenomena kehidupan. Tentunya sikap yang demikian dalam satu sisi akan memproduksi sesuatu yang bernilai positif, namun di sisi lain sikap ini juga sangat tidak mustahil malah akan melahirkan masalah baru.

Manakala kita melihat orang lain terjatuh dari motor hingga bercucuran darah, secara reaktif kita sesegera mungkin memberikan pertolongan kepadanya, tanpa mempertimbangkan siapa dia, agamanya apa, dan sebagainya. Dengan kata lain sikap reaktif yang demikianlah yang bernilai positif. Dari sini saya teringat dialog yang dilakukan Emha Ainun Najib di UIN Sunan Gunung Jati. Salah satu isi dari dialog tersebut antara lain kutipan yang mengatakan bahwa hakekat keberagamaan itu laksana membuang duri dari jalan. ‘Duri’ yang tidak jelas agama, ras, dan jenis kelaminnya tersebut akan menusuk siapa saja yang lewat jalan itu, tanpa pandang bulu apakah dia Islam atau bukan. Oleh karena itu, tindakan reaktif untuk segera menyingkirkan duri dari jalan menurut saya memang manifestasi dari ajaran Islam secara khusus, dan semua agama pada umumnya.

Namun, sejarah mengatakan bahwa kita masih cenderung bersikap ‘terlalu’ reaktif saat mendapatkan suatu fenomena (di mana fenomena tersebut yang seharusnya tidak disikapi secara reaktif sebelum memahami dengan benar apa yang sebenarnya terjadi). Seperti halnya ketika kita dihadapkan pada situasi sosial yang sepertinya tidak lazim atau berbeda dengan ideologi kita. Dalam konteks ini kita bisa mengamati beberapa contoh problematika sosial berikut yang ‘dianggap’ menyimpang oleh sebagian kalangan; Pertama, saat media masa ramai memberitakan kontroversi Syeikh Puji yang menikahi gadis di bawah umur; kedua, saat membaca judul “Menertawakan Kematian Tuhan” yang ditulis oleh Abdul Aziz, dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang; atau mendengar komentar Gus Dur yang mengatakan “Semua presiden Indonesia mempunyai penyakit gila” hingga pernah juga menyebut “Al-Quran sebagai kitab terporno sedunia”, dan banyak lagi kontroversi-kontroversi lain, yang terbukti kemudian kita secara reaktif menelan mentah-mentah isu-isu yang muncul ke permukaan tersebut. Tentu saja, yang muncul kemudian adalah sikap marah, kebencian, hingga pada sikap memurtadkan orang lain yang notabenenya masih saudara satu iman. Akibatnya, rusaklah integritas kita sebagai satu bangsa di satu sisi, dan satu agama di sisi lain.

Inikah yang kita inginkan? Tentunya tidak demikian. Kita tidak bisa menyamaratakan setiap persoalan begitu saja tanpa memahami terlebih duduk masalah yang sedang terjadi. Manakala kita salah menempatkan, tentunya akan melahirkan persoalan baru yang bahkan bisa lebih parah. Kita bisa membayangkan apa yang terjadi saat kedua contoh fenomena yang digambarkan sebelumnya, ternyata disikapi dengan cara sebaliknya. Kritis terhadap fenomena kekinian memang diperlukan, namun sikap reaktif yang ditunjukkan haruslah selaras dengan konteksnya. Melihat ada orang judi misalnya, terus kita langsung saja membunuhnya atau memukulnya...bukankah ini malah akan merusak citra Islam? Oleh beberapa kalangan, kini Islam banyak di gambarkan sebagai agama yang keras, suka perang, suka kekerasan, dan seterusnya. Tentu bukan seperti ini kan yang ingin kita wacanakan pada agama dan bangsa lain? Wallahu a’lam

Marhabaan Yaa Obama


Muhammad Tholchah Al Hadi
Kamis, 18 Maret 2010
09.00 WIB

A
khir-akhir ini kita cukup disibukkan dengan pro-kontra kedatangan presiden Amerika serikat, Barack ‘Hosein’ Obama. Bagi mereka yang menolak, beranggapan bahwa Indonesia tidak sepatutnya menerima tamu ‘penjahat’ perang seperti Amerika. Namun di lain pihak, organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, serta pemerintah sendiri secara terbuka bersikap welcome atas kedatangan Obama ke Indonesia. Dari pro-kontra tersebut, kedatangan presiden Obama (yang pada dasarnya bukan masalah besar) seakan merembet menjadi masalah nasional.

Sebagai warga negara Indonesia, secara naluri kita harus mencintai secara penuh bangsa ini. Islampun mengajarkan umatnya untuk senantiasa mencintai negaranya (hubbul wathan min al iman). Kita tinggal dan hidup di negara Indonesia, dimana Pancasila sebagai ideologi dasar negara. Beragam etnis dan agama hidup berdampingan di Indonesia, meskipun secara kuantitas penduduk muslim masih mendominasi. Pada sisi yang lain, Indonesia merupakan satu diantara negara-negara yang terhampar di atas belahan bumi. Analoginya seperti ini, seumpama kita bertempat tinggal di suatu desa yang di sana tentunya ada bermacam karakter manusia; baik dan jahat, serta muslim dan non-muslim. Tentunya kita bisa menilai sendiri bagaimana seharusnya sikap kita dalam interaksi sosial.

Ada hal yang cukup menarik dari apa yang di sampaikan Ulil Abshar Abdallah di salah satu program tvone (17/03). Di sana dia mengatakan bahwa orang Islam itu harus cerdas kalau ingin mengalahkan Amerika. Dia mencontohkan keberhasilan China saat ini sebagai satu-satunya negara di dunia ini yang mampu mengontrol Amerika melalui sistem ekonominya. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana kita memperbaiki sistem ekonomi dengan baik, kemudian masuk ke pasar Amerika. Cara lainnya adalah mengirimkan pelajar-pelajar Indonesia belajar ke Amerika, yang kemudian kembali pulang ke tanah air dengan membawa senjata ilmu pengetahuan secara luas. Seperti yang ditunjukkan presiden pertama kita, bung Karno. Pada awalnya dia belajar ke Belanda namun kemudian melwan Belanda dengan ilmunya. Istilah populernya “senjata makan tuan”.

Mungkin hal-hal cerdas seperti itulah yang seharusnya dipikirkan dan dilakukan oleh kaum muslim pada umumnya, dan bangsa Indonesia khususnya. Tidak lantas hanya berbekal ideologi yang kaku tanpa ditunjang khazanah keilmuan yang luas. Sikap memusuhi Amerika begitu saja lewat aksi radikal dan pemboman di mana-mana malah akan menjadikan negara Islam kalah. Hal seperti ini diperparah lagi dengan pemakaian simbol-simbol Islam, yang sebenarnya justru akan merusak citra Islam di mata Internasional. Kalau sudah demikian, bagaimana orang lain bisa tertarik masuk Islam! Lantas, akankah selamanya Amerika akan menjadi kafir? Bukankah tugas kita juga yang berdakwah di sana (tentunya dengan dakwah yang ramah dan penuh dengan kasih sayang).

Kembali pada persoalan kedatangan Obama ke Indonesia. Pada konteks ini, Islam sebenarnya sudah meletakkan pondasi tentang akhlak menghormati dan memulyakan tamu, meskipun dia seorang pembunuh berdarah dingin. Man kaana yu`minu billaahi wa al yaumi al aakhiri fa al yukrim dloifahu. Kita tentunya masih ingat bagaimana sikap Nabi terhadap musuh-musuhnya, bukankah beliau senantiasa menghormati mereka. Kita seharusnya bisa mengambil substansi dari sikap Nabi pada saat dakwah (secara umum), dan pada saat beliau di Madinah (secara khusus). Pada saat hijrah ke Madinah (Yatsrib), Nabi dihadapkan pada konflik antar suku yang sebelumnya terjadi di sana. Kita pun juga bisa mengambil hikmah dari Piagam Madinah yang mana isi dari piagam tersebut tidak hanya dimonopoli oleh kaum muslimin. Berikut isi dari piagam madinah:
  1. Kaum Yahudi hidup damai bersama-sama dengan kaum Muslim; kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing.
  2. Kaum Muslim dan Yahudi wajib saling tolong-menolong untuk melawan siapa saja yang memerangi kaumnya.
Seperti itulah Nabi mengajarkan umatnya untuk senantiasa menghormati umat lain yang berbeda keyekinan. Dari ‘kecerdikan’ itulah umat Islam pada akhirnya mudah diterima siapapun dan dari golongan manapun. Hal seperti itu juga telah ditunjukkan oleh Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia. Begitu mulusnya proses ‘Islamisasi’ di bumi nusantara tanpa ada pertumpahan darah. Strategi jitu yang diterapkan Nabi dan Wali Songo dalam berdakwah tadi dapat disimpulkan (sebenarnya cukup sederhana saja), yakni pertama-tama mengambil hati masyarakat tersebut, setelah tersentuh hatinya, disusul kemudian sikap invitation (ajakan).

Hal ini mungkin tidak akan bisa terjadi sampai kapanpun manakala dalam dakwah tersebut tidak dibarengi dengan sikap toleransi dan mengormati umat lain, yang pada akhirnya akan timbul pertanyaan besar kembali, “sudahkah sikap umat Islam sekarang menyentuh hati kaum atau agama lain? Atau jangan-jangan prilaku umat Islam malah membuat mereka dengki pada Islam? Apakah sikap radikal, merasa paling benar, dan terorisme yang selama ini di bangga-banggakan adalah jalan terbaik?”

Menurut Mahfud MD (Setahun Bersama Gus Dur; Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit: 71), memperjuangkan syari’at Islam tidaklah harus dengan formal kelembagaan, melainkan bisa dengan pemasyarakatan akan substansinya. Lanjutnya, dia mengatakan bahwa memperjuangkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta itu adalah memperjuangkan substansinya yang universal, seperti keadilan, kejujuran, amanah, demokratis, menghormati HAM, dan sebagainya. Sedangkan formalitas kelembagaannya tidak menjadi keharusan. Dia kemudian mengutip dalil “al ‘ibrah fil Islaam bil jauhar, laa bil madzhar”.

Secara individu, orang akan dihormati manakala dia menghormati lainnya. Sebaliknya, bagaimana bisa kita meminta pada orang lain untuk menghormati, sementara kita sendiri ‘mengacungkan pedang’ ke arah mereka. Sebagai negara demokrasi, Indonesia tidak melarang adanya perbedaan pendapat, dan tidak setuju dengan pendapat orang lain itu sangat diperbolehkan. Mari kita sambut setiap tamu yang datang tanpa pandang siapa dia, dari mana dia, dan apa agamanya. Semoga kedatangan Obama (yang ternyata ditunda lagi sampai Juni) bisa menjadi titik temu antara dunia ‘Barat’ dan ‘Timur’.