Muhammad Tholchah Al Hadi
Malang, 17 Maret 2010
10.15 WIB
“Dikritik itu memang menyakitkan, namun lebih menyakitkan kritik yang tidak didengar.” “Ditolak itu memang menyakitkan, namun akan terasa lebih menyakitkan jika perasaan itu terus terpendam.” Dua keadaan yang tertuang di kalimat atas sangat mungkin pernah dialami oleh sebagian orang, bahkan penulis sendiri. Namun kebenaran akan ungkapan diatas mungkin dipandang masih relatif oleh sebagian orang yang menyangsikan. Hal ini sering terjadi manakala sebuah teori hanya bergulir tanpa dibarengi dengan pengalaman atau sesuatu yang bersifat aplikatif. Dalam konteks ini, siapapun pastinya pernah mengkritik meskipun dengan cara yang variatif. Kecenderungan orang untuk memberikan kritik memang tengah menjamur disekitar kita. Kita mungkin cenderung bersikap reaktif terhadap suatu problematika atau fenomena kehidupan. Tentunya sikap yang demikian dalam satu sisi akan memproduksi sesuatu yang bernilai positif, namun di sisi lain sikap ini juga sangat tidak mustahil malah akan melahirkan masalah baru.
Manakala kita melihat orang lain terjatuh dari motor hingga bercucuran darah, secara reaktif kita sesegera mungkin memberikan pertolongan kepadanya, tanpa mempertimbangkan siapa dia, agamanya apa, dan sebagainya. Dengan kata lain sikap reaktif yang demikianlah yang bernilai positif. Dari sini saya teringat dialog yang dilakukan Emha Ainun Najib di UIN Sunan Gunung Jati. Salah satu isi dari dialog tersebut antara lain kutipan yang mengatakan bahwa hakekat keberagamaan itu laksana membuang duri dari jalan. ‘Duri’ yang tidak jelas agama, ras, dan jenis kelaminnya tersebut akan menusuk siapa saja yang lewat jalan itu, tanpa pandang bulu apakah dia Islam atau bukan. Oleh karena itu, tindakan reaktif untuk segera menyingkirkan duri dari jalan menurut saya memang manifestasi dari ajaran Islam secara khusus, dan semua agama pada umumnya.
Namun, sejarah mengatakan bahwa kita masih cenderung bersikap ‘terlalu’ reaktif saat mendapatkan suatu fenomena (di mana fenomena tersebut yang seharusnya tidak disikapi secara reaktif sebelum memahami dengan benar apa yang sebenarnya terjadi). Seperti halnya ketika kita dihadapkan pada situasi sosial yang sepertinya tidak lazim atau berbeda dengan ideologi kita. Dalam konteks ini kita bisa mengamati beberapa contoh problematika sosial berikut yang ‘dianggap’ menyimpang oleh sebagian kalangan; Pertama, saat media masa ramai memberitakan kontroversi Syeikh Puji yang menikahi gadis di bawah umur; kedua, saat membaca judul “Menertawakan Kematian Tuhan” yang ditulis oleh Abdul Aziz, dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang; atau mendengar komentar Gus Dur yang mengatakan “Semua presiden Indonesia mempunyai penyakit gila” hingga pernah juga menyebut “Al-Quran sebagai kitab terporno sedunia”, dan banyak lagi kontroversi-kontroversi lain, yang terbukti kemudian kita secara reaktif menelan mentah-mentah isu-isu yang muncul ke permukaan tersebut. Tentu saja, yang muncul kemudian adalah sikap marah, kebencian, hingga pada sikap memurtadkan orang lain yang notabenenya masih saudara satu iman. Akibatnya, rusaklah integritas kita sebagai satu bangsa di satu sisi, dan satu agama di sisi lain.
Inikah yang kita inginkan? Tentunya tidak demikian. Kita tidak bisa menyamaratakan setiap persoalan begitu saja tanpa memahami terlebih duduk masalah yang sedang terjadi. Manakala kita salah menempatkan, tentunya akan melahirkan persoalan baru yang bahkan bisa lebih parah. Kita bisa membayangkan apa yang terjadi saat kedua contoh fenomena yang digambarkan sebelumnya, ternyata disikapi dengan cara sebaliknya. Kritis terhadap fenomena kekinian memang diperlukan, namun sikap reaktif yang ditunjukkan haruslah selaras dengan konteksnya. Melihat ada orang judi misalnya, terus kita langsung saja membunuhnya atau memukulnya...bukankah ini malah akan merusak citra Islam? Oleh beberapa kalangan, kini Islam banyak di gambarkan sebagai agama yang keras, suka perang, suka kekerasan, dan seterusnya. Tentu bukan seperti ini kan yang ingin kita wacanakan pada agama dan bangsa lain? Wallahu a’lam
Malang, 17 Maret 2010
10.15 WIB
“Dikritik itu memang menyakitkan, namun lebih menyakitkan kritik yang tidak didengar.” “Ditolak itu memang menyakitkan, namun akan terasa lebih menyakitkan jika perasaan itu terus terpendam.” Dua keadaan yang tertuang di kalimat atas sangat mungkin pernah dialami oleh sebagian orang, bahkan penulis sendiri. Namun kebenaran akan ungkapan diatas mungkin dipandang masih relatif oleh sebagian orang yang menyangsikan. Hal ini sering terjadi manakala sebuah teori hanya bergulir tanpa dibarengi dengan pengalaman atau sesuatu yang bersifat aplikatif. Dalam konteks ini, siapapun pastinya pernah mengkritik meskipun dengan cara yang variatif. Kecenderungan orang untuk memberikan kritik memang tengah menjamur disekitar kita. Kita mungkin cenderung bersikap reaktif terhadap suatu problematika atau fenomena kehidupan. Tentunya sikap yang demikian dalam satu sisi akan memproduksi sesuatu yang bernilai positif, namun di sisi lain sikap ini juga sangat tidak mustahil malah akan melahirkan masalah baru.
Manakala kita melihat orang lain terjatuh dari motor hingga bercucuran darah, secara reaktif kita sesegera mungkin memberikan pertolongan kepadanya, tanpa mempertimbangkan siapa dia, agamanya apa, dan sebagainya. Dengan kata lain sikap reaktif yang demikianlah yang bernilai positif. Dari sini saya teringat dialog yang dilakukan Emha Ainun Najib di UIN Sunan Gunung Jati. Salah satu isi dari dialog tersebut antara lain kutipan yang mengatakan bahwa hakekat keberagamaan itu laksana membuang duri dari jalan. ‘Duri’ yang tidak jelas agama, ras, dan jenis kelaminnya tersebut akan menusuk siapa saja yang lewat jalan itu, tanpa pandang bulu apakah dia Islam atau bukan. Oleh karena itu, tindakan reaktif untuk segera menyingkirkan duri dari jalan menurut saya memang manifestasi dari ajaran Islam secara khusus, dan semua agama pada umumnya.
Namun, sejarah mengatakan bahwa kita masih cenderung bersikap ‘terlalu’ reaktif saat mendapatkan suatu fenomena (di mana fenomena tersebut yang seharusnya tidak disikapi secara reaktif sebelum memahami dengan benar apa yang sebenarnya terjadi). Seperti halnya ketika kita dihadapkan pada situasi sosial yang sepertinya tidak lazim atau berbeda dengan ideologi kita. Dalam konteks ini kita bisa mengamati beberapa contoh problematika sosial berikut yang ‘dianggap’ menyimpang oleh sebagian kalangan; Pertama, saat media masa ramai memberitakan kontroversi Syeikh Puji yang menikahi gadis di bawah umur; kedua, saat membaca judul “Menertawakan Kematian Tuhan” yang ditulis oleh Abdul Aziz, dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang; atau mendengar komentar Gus Dur yang mengatakan “Semua presiden Indonesia mempunyai penyakit gila” hingga pernah juga menyebut “Al-Quran sebagai kitab terporno sedunia”, dan banyak lagi kontroversi-kontroversi lain, yang terbukti kemudian kita secara reaktif menelan mentah-mentah isu-isu yang muncul ke permukaan tersebut. Tentu saja, yang muncul kemudian adalah sikap marah, kebencian, hingga pada sikap memurtadkan orang lain yang notabenenya masih saudara satu iman. Akibatnya, rusaklah integritas kita sebagai satu bangsa di satu sisi, dan satu agama di sisi lain.
Inikah yang kita inginkan? Tentunya tidak demikian. Kita tidak bisa menyamaratakan setiap persoalan begitu saja tanpa memahami terlebih duduk masalah yang sedang terjadi. Manakala kita salah menempatkan, tentunya akan melahirkan persoalan baru yang bahkan bisa lebih parah. Kita bisa membayangkan apa yang terjadi saat kedua contoh fenomena yang digambarkan sebelumnya, ternyata disikapi dengan cara sebaliknya. Kritis terhadap fenomena kekinian memang diperlukan, namun sikap reaktif yang ditunjukkan haruslah selaras dengan konteksnya. Melihat ada orang judi misalnya, terus kita langsung saja membunuhnya atau memukulnya...bukankah ini malah akan merusak citra Islam? Oleh beberapa kalangan, kini Islam banyak di gambarkan sebagai agama yang keras, suka perang, suka kekerasan, dan seterusnya. Tentu bukan seperti ini kan yang ingin kita wacanakan pada agama dan bangsa lain? Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar