Pages

Sabtu, 20 Maret 2010

Marhabaan Yaa Obama


Muhammad Tholchah Al Hadi
Kamis, 18 Maret 2010
09.00 WIB

A
khir-akhir ini kita cukup disibukkan dengan pro-kontra kedatangan presiden Amerika serikat, Barack ‘Hosein’ Obama. Bagi mereka yang menolak, beranggapan bahwa Indonesia tidak sepatutnya menerima tamu ‘penjahat’ perang seperti Amerika. Namun di lain pihak, organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, serta pemerintah sendiri secara terbuka bersikap welcome atas kedatangan Obama ke Indonesia. Dari pro-kontra tersebut, kedatangan presiden Obama (yang pada dasarnya bukan masalah besar) seakan merembet menjadi masalah nasional.

Sebagai warga negara Indonesia, secara naluri kita harus mencintai secara penuh bangsa ini. Islampun mengajarkan umatnya untuk senantiasa mencintai negaranya (hubbul wathan min al iman). Kita tinggal dan hidup di negara Indonesia, dimana Pancasila sebagai ideologi dasar negara. Beragam etnis dan agama hidup berdampingan di Indonesia, meskipun secara kuantitas penduduk muslim masih mendominasi. Pada sisi yang lain, Indonesia merupakan satu diantara negara-negara yang terhampar di atas belahan bumi. Analoginya seperti ini, seumpama kita bertempat tinggal di suatu desa yang di sana tentunya ada bermacam karakter manusia; baik dan jahat, serta muslim dan non-muslim. Tentunya kita bisa menilai sendiri bagaimana seharusnya sikap kita dalam interaksi sosial.

Ada hal yang cukup menarik dari apa yang di sampaikan Ulil Abshar Abdallah di salah satu program tvone (17/03). Di sana dia mengatakan bahwa orang Islam itu harus cerdas kalau ingin mengalahkan Amerika. Dia mencontohkan keberhasilan China saat ini sebagai satu-satunya negara di dunia ini yang mampu mengontrol Amerika melalui sistem ekonominya. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bagaimana kita memperbaiki sistem ekonomi dengan baik, kemudian masuk ke pasar Amerika. Cara lainnya adalah mengirimkan pelajar-pelajar Indonesia belajar ke Amerika, yang kemudian kembali pulang ke tanah air dengan membawa senjata ilmu pengetahuan secara luas. Seperti yang ditunjukkan presiden pertama kita, bung Karno. Pada awalnya dia belajar ke Belanda namun kemudian melwan Belanda dengan ilmunya. Istilah populernya “senjata makan tuan”.

Mungkin hal-hal cerdas seperti itulah yang seharusnya dipikirkan dan dilakukan oleh kaum muslim pada umumnya, dan bangsa Indonesia khususnya. Tidak lantas hanya berbekal ideologi yang kaku tanpa ditunjang khazanah keilmuan yang luas. Sikap memusuhi Amerika begitu saja lewat aksi radikal dan pemboman di mana-mana malah akan menjadikan negara Islam kalah. Hal seperti ini diperparah lagi dengan pemakaian simbol-simbol Islam, yang sebenarnya justru akan merusak citra Islam di mata Internasional. Kalau sudah demikian, bagaimana orang lain bisa tertarik masuk Islam! Lantas, akankah selamanya Amerika akan menjadi kafir? Bukankah tugas kita juga yang berdakwah di sana (tentunya dengan dakwah yang ramah dan penuh dengan kasih sayang).

Kembali pada persoalan kedatangan Obama ke Indonesia. Pada konteks ini, Islam sebenarnya sudah meletakkan pondasi tentang akhlak menghormati dan memulyakan tamu, meskipun dia seorang pembunuh berdarah dingin. Man kaana yu`minu billaahi wa al yaumi al aakhiri fa al yukrim dloifahu. Kita tentunya masih ingat bagaimana sikap Nabi terhadap musuh-musuhnya, bukankah beliau senantiasa menghormati mereka. Kita seharusnya bisa mengambil substansi dari sikap Nabi pada saat dakwah (secara umum), dan pada saat beliau di Madinah (secara khusus). Pada saat hijrah ke Madinah (Yatsrib), Nabi dihadapkan pada konflik antar suku yang sebelumnya terjadi di sana. Kita pun juga bisa mengambil hikmah dari Piagam Madinah yang mana isi dari piagam tersebut tidak hanya dimonopoli oleh kaum muslimin. Berikut isi dari piagam madinah:
  1. Kaum Yahudi hidup damai bersama-sama dengan kaum Muslim; kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing.
  2. Kaum Muslim dan Yahudi wajib saling tolong-menolong untuk melawan siapa saja yang memerangi kaumnya.
Seperti itulah Nabi mengajarkan umatnya untuk senantiasa menghormati umat lain yang berbeda keyekinan. Dari ‘kecerdikan’ itulah umat Islam pada akhirnya mudah diterima siapapun dan dari golongan manapun. Hal seperti itu juga telah ditunjukkan oleh Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Indonesia. Begitu mulusnya proses ‘Islamisasi’ di bumi nusantara tanpa ada pertumpahan darah. Strategi jitu yang diterapkan Nabi dan Wali Songo dalam berdakwah tadi dapat disimpulkan (sebenarnya cukup sederhana saja), yakni pertama-tama mengambil hati masyarakat tersebut, setelah tersentuh hatinya, disusul kemudian sikap invitation (ajakan).

Hal ini mungkin tidak akan bisa terjadi sampai kapanpun manakala dalam dakwah tersebut tidak dibarengi dengan sikap toleransi dan mengormati umat lain, yang pada akhirnya akan timbul pertanyaan besar kembali, “sudahkah sikap umat Islam sekarang menyentuh hati kaum atau agama lain? Atau jangan-jangan prilaku umat Islam malah membuat mereka dengki pada Islam? Apakah sikap radikal, merasa paling benar, dan terorisme yang selama ini di bangga-banggakan adalah jalan terbaik?”

Menurut Mahfud MD (Setahun Bersama Gus Dur; Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit: 71), memperjuangkan syari’at Islam tidaklah harus dengan formal kelembagaan, melainkan bisa dengan pemasyarakatan akan substansinya. Lanjutnya, dia mengatakan bahwa memperjuangkan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta itu adalah memperjuangkan substansinya yang universal, seperti keadilan, kejujuran, amanah, demokratis, menghormati HAM, dan sebagainya. Sedangkan formalitas kelembagaannya tidak menjadi keharusan. Dia kemudian mengutip dalil “al ‘ibrah fil Islaam bil jauhar, laa bil madzhar”.

Secara individu, orang akan dihormati manakala dia menghormati lainnya. Sebaliknya, bagaimana bisa kita meminta pada orang lain untuk menghormati, sementara kita sendiri ‘mengacungkan pedang’ ke arah mereka. Sebagai negara demokrasi, Indonesia tidak melarang adanya perbedaan pendapat, dan tidak setuju dengan pendapat orang lain itu sangat diperbolehkan. Mari kita sambut setiap tamu yang datang tanpa pandang siapa dia, dari mana dia, dan apa agamanya. Semoga kedatangan Obama (yang ternyata ditunda lagi sampai Juni) bisa menjadi titik temu antara dunia ‘Barat’ dan ‘Timur’.

0 komentar: