“Semakin banyak teman maka semakin besar pula peluang kerja,” mungkin itulah penggalan kalimat yang telah mewabah dan menjadi ‘budaya’ baru di masyarakat kita. Sudah menjadi hal yang lumrah jika kini banyak orang dengan mudahnya masuk dalam sebuah institusi atau kursi jabatan hanya karena punya jaringan ‘orang dalam’. Tentu hal ini bukan berarti institusi kita tidak memberlakukan suatu aturan atau prosedur bagi setiap calon pelamar kerja. Namun lebih dari itu, prosedur – tertulis ataupun lisan – seakan hanya menjadi formalitas perusahaan. Orang cenderung tidak lagi dituntut mempunyai kapabilitas yang mumpuni dalam bidangnya, karena yang mungkin ada dalam mind setting mereka adalah “kalau saya punya relasi dengan ‘orang dalam’, pasti segalanya akan mudah”.
Bagaimanapun, hal seperti itu akan membuat stabilitas sosial kian menjadi tumpang tindih. Di satu sisi, orang yang pada dasarnya mempunyai kemahiran dan kreatifitas (namun tidak dibarengi oleh koneksi yang luas) harus merelakan peluang tersebut kepada mereka yang ‘hanya’ mengandalkan konektifitas ‘orang dalam’. Kalaupun tidak, diapun mungkin harus ‘membayar’ dengan harga tinggi untuk bisa masuk kedalam instansi yang dikehendaki.
Pada dasarnya, kita sadar bahwa kejadian seperti ini tidak patut dibenarkan, namun substansi dari pendidikan kita seakan dikalahkan oleh nilai dan tradisi yang terlanjur berakar kuat. Mulai dari kalangan akademis – pelajar maupun mahasiswa – yang notabenenya adalah source of knowledge, mereka sudah terbiasa melakukan lobi-lobi yang tentunya tidak dalam porsi yang tepat.
Kita bisa melihat bagaimana peluang siswa yang ingin meneruskan ke sekolah negeri ataupun universitas ternama. Dalam hal ini bagi mereka yang mempunyai koneksi di lembaga tersebut (atau dari orang tuanya) dan mereka yang tidak punya satupun kenalan. Kita mungkin bisa memperkirakan sendiri peluang mereka, di mana ujung-ujungnya yang ‘bisa’ menduduki ‘jabatan’ sebagai siswa atau mahasiswa universitas negeri itu adalah mereka (orang tuanya) yang punya koneksi ‘orang dalam’. Di pihak lain, mereka mungkin harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam. Hal seperti ini memang tidak hanya berlaku di level menengah, bahkan kegiatan jual-beli jabatan dengan mengandalkan koneksi inipun seakan telah sukses menjadi tren baru di kalangan pejabat pemerintah.
Mencari relasi sebanyak-banyaknya memang penting karena kita tercipta sebagai makhluk sosial yang heterogen, namun semua ini bukan berarti kita harus meniadakan substansi dari cita-cita kita sendiri. Setiap orang tentu tidak ingin menghalalkan segala cara untuk sekedar ‘jabatan’, is it!. Memanfaatkan relasi sah-sah saja, namun semua itu harus sejalan dengan porsi atau kapabilitas kita sendiri. Wallahu a’lam