WELCOME TO EMBUN DELTA

M. Tholhah Al Hadi, S.S.

Aku Akan Selalu Merindukanmu

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pages

Sabtu, 09 Oktober 2010

RELASI DAN PANGGUNG JABATAN

“Semakin banyak teman maka semakin besar pula peluang kerja,” mungkin itulah penggalan kalimat yang telah mewabah dan menjadi ‘budaya’ baru di masyarakat kita. Sudah menjadi hal yang lumrah jika kini banyak orang dengan mudahnya masuk dalam sebuah institusi atau kursi jabatan hanya karena punya jaringan ‘orang dalam’. Tentu hal ini bukan berarti institusi kita tidak memberlakukan suatu aturan atau prosedur bagi setiap calon pelamar kerja. Namun lebih dari itu, prosedur – tertulis ataupun lisan – seakan hanya menjadi formalitas perusahaan. Orang cenderung tidak lagi dituntut mempunyai kapabilitas yang mumpuni dalam bidangnya, karena yang mungkin ada dalam mind setting mereka adalah “kalau saya punya relasi dengan ‘orang dalam’, pasti segalanya akan mudah”.

Bagaimanapun, hal seperti itu akan membuat stabilitas sosial kian menjadi tumpang tindih. Di satu sisi, orang yang pada dasarnya mempunyai kemahiran dan kreatifitas (namun tidak dibarengi oleh koneksi yang luas) harus merelakan peluang tersebut kepada mereka yang ‘hanya’ mengandalkan konektifitas ‘orang dalam’. Kalaupun tidak, diapun mungkin harus ‘membayar’ dengan harga tinggi untuk bisa masuk kedalam instansi yang dikehendaki.

Pada dasarnya, kita sadar bahwa kejadian seperti ini tidak patut dibenarkan, namun substansi dari pendidikan kita seakan dikalahkan oleh nilai dan tradisi yang terlanjur berakar kuat. Mulai dari kalangan akademis – pelajar maupun mahasiswa – yang notabenenya adalah source of knowledge, mereka sudah terbiasa melakukan lobi-lobi yang tentunya tidak dalam porsi yang tepat.

Kita bisa melihat bagaimana peluang siswa yang ingin meneruskan ke sekolah negeri ataupun universitas ternama. Dalam hal ini bagi mereka yang mempunyai koneksi di lembaga tersebut (atau dari orang tuanya) dan mereka yang tidak punya satupun kenalan. Kita mungkin bisa memperkirakan sendiri peluang mereka, di mana ujung-ujungnya yang ‘bisa’ menduduki ‘jabatan’ sebagai siswa atau mahasiswa universitas negeri itu adalah mereka (orang tuanya) yang punya koneksi ‘orang dalam’. Di pihak lain, mereka mungkin harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam. Hal seperti ini memang tidak hanya berlaku di level menengah, bahkan kegiatan jual-beli jabatan dengan mengandalkan koneksi inipun seakan telah sukses menjadi tren baru di kalangan pejabat pemerintah.

Mencari relasi sebanyak-banyaknya memang penting karena kita tercipta sebagai makhluk sosial yang heterogen, namun semua ini bukan berarti kita harus meniadakan substansi dari cita-cita kita sendiri. Setiap orang tentu tidak ingin menghalalkan segala cara untuk sekedar ‘jabatan’, is it!. Memanfaatkan relasi sah-sah saja, namun semua itu harus sejalan dengan porsi atau kapabilitas kita sendiri. Wallahu a’lam

IP, ‘DEWA’ BARU MAHASISWA


Mungkin sudah menjadi tradisi bahwa Index Prestasi (IP) dianggap ‘sangat’ menentukan kesuksesan mahasiswa. Saya belum mengerti mengapa fenomena tersebut cenderung terjadi di lembaga pendidikan yang berlabel ‘Islam’. Memang, tidak semua lembaga agama bersikap demikian, tapi seperti itulah fakta yang kita temukan di dunia pendidikan agama. IP ataupun nilai masih kental dianggap sebagai barometer utama kemampuan mahasiswa. Alih-alih mendapat nilai bagus, mahasiswa malah kian terjebak pada kondisi di mana mereka sangat bangga dengan nilai bagus meskipun kontradiktif dengan kemampuannya. Pada akhirnya, cara-cara curangpun dilakukan baik pada waktu ujian ataupun tugas makalah. Maka tidak heran jika banyak sarjana pengangguran kemana-mana menanyakan ‘apa ada pekerjaan untuk saya?’.

Saya teringat dengan apa yang dikatakan Prof. Dr. H. Imam Suprayogo beberapa bulan yang lalu, bahwasannya sekarang ini begitu banyak tenaga kerja, namun yang sesuai dengan kompetensi sangat sedikit. Secara pribadi dia tidak ingin lulusan UIN Maliki menjadi pegawai. Sebaliknya, mereka harus menciptakan peluang kerja bagi masyarakatnya. Dianut, bukan manut. Dia bahkan berpesan, ‘jangan minta jabatan atau pekerjaan, tapi kalau diberi jangan menolak, karena itu amanah! kesuksesan akan datang dengan sendirinya tanpa harus diburu, kuncinya adalah Bahasa Arab, Bahasa Inggris, IT, dan al-Quran.’

Sungguh ironi memang, bahkan (jujur) saya juga sering terbawa oleh situasi yang tidak menguntungkan ini. Nilai seakan menjadi Tuhan baru dalam karir akademik mahasiswa. Entah siapa yang patut disalahkan, fenomena seperti ini begitu mengakar kuat dan turun-menurun dari satu generasi ke generasi. Ibda’ binafsik, mungkin itulah solusi yang terbaik. Menyalahkan orang lain (apalagi situasi) berarti kita kalah oleh keadaan. Bukankah salah satu tugas mahasiswa adalah menjadi agent of change seperti yang digambarkan di atas (dianut, bukan manut)?. Bagaimana cita-cita tersebut bisa dicapai ketika kita masih membudidayakan pencarian nilai?

Nilai memang penting, karena adanya nilai memang ditujukan sebagai indikator hasil belajar. Namun yang terjadi sekarang adalah maraknya pengalihan kepentingan yang awalnya sebagai barometer akademik, berubah menjadi tanda kesuksesan. Sudah menjadi hal yang ‘dianggap’ wajar ketika mahasiswa komplain nilai karena mendapat nilai jelek. Namun seakan tidak wajar (dan hampir tidak ditemukan) manakala mahasiswa komplain untuk meminta menurunkan nilai karena dia menganggap bahwa nilai tersebut belum sesuai dengan kemampuannya. Yang lebih tragis, pengalihan kepentingan tersebut bahkan terjadi hanya untuk mendapatkan beasiswa (praktek manipulasi nilai).

Kalau melihat ke belakang, kita mungkin tidak menyadari bahwa tradisi orientasi nilai sudah ditanamkan saat sistem UAN diberlakukan. Bagaimana tidak, kelulusan siswa hanya dinilai dari beberapa mata pelajaran. Bisa kita bayangkan kalau anak yang jiwanya menyukai seni namun yang diujikan adalah Matematika. Bukankah standarisasi yang seperti itu malah mengancam kreatifitas siswa—sementara SDM guru dan lembaga pendidikan di pelosok desa masih banyak yang belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Hasilnya, yang terjadi justru maraknya praktek penghalalan segala cara untuk lulus atau sekedar mendapatkan nilai di atas rata-rata; baik yang dilakukan siswa maupun pihak sekolah. Dalam hal ini (menurut saya), ada baiknya jika Departemen Pendidikan kembali mengkaji sistem UAN agar lebih efektif dan sesuai dengan yang diharapkan, yakni orientasi pada proses, bukan lagi hasil.

Akhirnya, meskipun IP bisa menunjang karir pekerjaan kita, namun hal itu tidak akan banyak membantu dalam mengatasi seleksi alam. Lamaran pekerjaan kita mungkin akan diterima, namun di sana masih ada seleksi tes wawancara. Uang mungkin akan bisa ‘berbicara’, namun bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai dana besar? Kita mungkin saja diterima kerja, namun bagaimana setelah bekerja namun kemampuan kita yang sebenarnya (tidak sesuai dengan IP) diketahui oleh masyarakat/ manager? bukankah hanya akan membuat malu kita, orang tua, dan lembaga pendidikan. wallahu a’lam