WELCOME TO EMBUN DELTA

M. Tholhah Al Hadi, S.S.

Aku Akan Selalu Merindukanmu

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pages

Rabu, 07 April 2010

Haruskah Aku . . .




Haruskah ku akan mengucapkan selamat tinggal sementara ku masih mau mencoba. Haruskah ku akan menyerah sementara ku masih bernafas. Haruskah ku akan mengatakan tidak mencintainya sementara ku tak dapat melupakannya. Bulan memang indah tapi bukan bagiku. Bintang juga indah tapi bukan untuk ku. Yang terindah bagiku adalah bumi, karena di sana aku bertemu hamba kecil-Nya

Senin, 05 April 2010

Children of The Street's Life



Muhammad Tholhah Al Hadi

Malang, April 1st, 2010

The existence of children in our society needs a profound interest. Many children among us, but not all of them are having the same chance for studying. They are either the government’s and our responsible, thus we have to create them to be smart generations. Otherwise we would not have generations who are able to go our dream on. In this case, we can see that many children still do what they should not do. Actually, this is not a newly problem for us, but it is happening during many years.

There are two terms in case of describing children who are staying and going around the street. The first is ‘children of the street’, which describes children who spent their entire time or most of their time going around the street without any relationship with their family or relatives. This happens could be caused by internal problems such as broken home, driven out, no parents, and so on. That is why they decide to spent their time around the street.

The second one is ‘children in the street’ or we categorize them as children from the families of the street. They are children who also spend their time going around the street, but one thing which is difference is that they have a family living on the street too. In general, this kind of group could happen because of poverty. In addition, those two groups have the same aim which is asking for money in order to be able to survive.

I discern this as a urban phenomenon because this could be seen generally on the highway and public transportation. Thus, it is miserable when we see children going around the street for asking money while the others are studying. Childhood is a period for studying and playing. Their childhood should not be spent in the street; asking money, being singing beggar, and so on. They need an attention from us, because naturally their existence want to be admitted.

Children are precious generations, so that they have to get an education as well as the others. In this case, the government should solve how to decrease the number of either children of the street and children in the street. Basically, their environment do not care enough to them because they think that the children going around the street are not their responsible. On the contrary only their parents must be responsible for them.

Now, the problem is not suspecting someone who cause them being both children of the street and children in the street. At that very early stage, the problem comes from many aspects so that we could not generalize and address it to their parents. In fact, we find that there are some cases which could make them living around the street. It cannot be denied that people of Indonesia tend to be hard done by the government, especially for people who are from poor or low class. Thus, this kind of phenomenon should not fully addressed to the parents.
What we should do is putting our heads together how to solve it, or at least decrease it. In this case, there are some solutions; Personal Approach, because people generally assume them as naughty children and they do not need to come into lime light. In Addition, we need to give them more attention and self confidence so that they will not do bad tings.This personal approach also includes their education, jobs opportunity (skills), finances, and health.

From this, I hope that the government should give more attention to people from low class generally and their children especially in case of their rights, finances, education, and health, so that children of Indonesia will be greater generations than before.

Lautan Doa Untuk Gus Dur



Muhammad Tholhah Al Hadi

Malang, 5 April 2010


Lima kata itulah yang menjadi tema pada peringatan 100 hari wafatnya KH. Abdurrahman Wahid (04/04/10). Sebuah deretan kata yang penuh akan makna, bagi saya sendiri maupun masyarakat Indonesia pada umumnya, karena begitu banyaknya para peziarah yang ingin menjadi saksi atas cinta mereka pada mantan Presiden keempat tersebut. Lebih dari itu, mereka rela berbondong-bondong dari berbagai sudut kota di Indonesia untuk sekedar mendoakan Gus Dur yang insyaAllah telah mendapatkan tempat yang damai di sisi-Nya.

Saat melewati Pondok Pesantren Tebuireng, mata ini dibuat takjub karena deretan bus-bus sudah rapi berjejeran, padahal waktu itu masih siang. Para peziarah bertebaran di mana-mana layaknya gerombolan semut yang ingin mendekati gula. Sungguh basar balasan Allah bagi mereka yang mencintai umatnya.

Peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur bertepatan dengan hari Ahad, maka tidak heran selama perjalanan saya bisa melihat padatnya kendaraan yang lalu-lalang, seolah mereka menyapa saya setiap detik. Pada saat yang bersamaan, kebetulan saya juga ada keperluan untuk menghadiri undangan pernikahan (Eva Shofiyana) yang beralamatkan di daerah Mojoagung-Jombang. Mempelai wanitanya adalah teman satu pondok waktu di PP. As Sa’idiyah Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, dan sekarang satu kampus di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

De Javu, itulah yang sepertinya terjadi, yakni hujan mengguyur Jombang sesaat sebelum acara inti peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur dimulai. Beberapa saat yang lalu (40 harinya), keadaan yang seperti itu terjadi. Alam sepertinya masih sedih ditinggal sembunyi oleh Gus Dur di balik kesunyian tanah. Tanpa menafikan gejala alam yang mungkin saja terjadi kapanpun, semua itu adalah tanda kebesaranNya. Semoga tanah Indonesia semakin subur karena yang turun pada saat itu adalah hujan rahmat.

Kalau dulu (peringatan 40 hari) Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. dan KH. Musthofa Bisri yang diberikan kesempatan menguraikan kata-katanya di depan ribuan peziarah makam KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahid Hasyim, Gus Dur, dan keluarga. Kini di tempat yang berbeda budayawan Sujiwo Tejo dan hadlratussyeikh KH. Maimun Zubeir bergiliran memberikan deretan kata terindah untuk al maghfurlah KH. Abdurrahman Wahid.

Dalam kesempatan tersebut, ada satu hal yang rasanya cukup menarik dari sambutan Sujiwo Tejo untuk kita jadikan sebuah refleksi diri. Dengan gayanya yang khas, dia menggambarkan sosok Gus Dur sebagai Semar dalam dunia pewayangan. Lanjutnya, dia mengatakan bahwa senjata yang paling ampuh bukanlah panah pasopati Arjuna, tapi kentut Semar, bahkan para dewapun takut dengan kentutnya Semar. Dalam dunia kebudayaan, kentut digambarkan sebagai sesuatu yang kotor, bau, dan tabu. Namun lebih dari itu, ada suatu nilai moral yang terselip di dalamnya, yakni keberanian untuk melakukan hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat. Dalam konteks ini, dia mencontohkan bahwasannya kalau dulu komunitas Tionghua dianggap ‘tabu’ di Indonesia, namun Gus Dur dengan sangat gagahnya membuka dan bahkan meresmikan ke-tabu-an sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kekayaan bangsa.

Sangat tidak salah kalau kemudian saya merefleksikan hal tersebut ke dalam kehidupan sekarang, di mana kita sudah terlanjur terbiasa tutup mulut terhadap sesuatu yang dianggap tabu. Secara dzohir, seseorang yang terbiasa menahan kentut karena gengsi atau jaga image, saya kira dia akan lebih menderita kemudian karena dia pada dasarnya belum mengetahui betapa nikmatnya bisa kentut. Dengan kata lain bahwasannya kentut itu memang tidak untuk disimpan, namun dikeluarkan.

Saat ini sudah terlalu banyak dari kita (bahkan saya sendiri) bersikap munafik terhadap hati nurani. Kita sulit untuk terbuka dan ceplas-ceplos saat menghadapi suatu keadaan. Di sisi lain, kita masih cenderung mengedepankan penampilan luar untuk sekedar harga diri. Seorang pengajar Al-Hikam pernah mengatakan bahwasannya orang berbahaya adalah orang baik; sopan, alim, pintar, cantik, tampan, dll. karena di situ terselip penyakit hati. Namun, hal tersebut mungkin dianggap terlalu ndakik-ndakik kalau kita pergi ke sana. Lebih mudahnya, kita bisa melihat tingkah elit politik kita saat mereka berlomba-lomba mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah atau negara, bagaimana mereka dengan sangat manisnya melantunkan janji-janji oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Mereka adalah orang-orang berpendidikan, rajin shadaqah, dan bahkan alim. Untuk menilai mereka, kita akan kembalikan pada hati nurani masing-masing.

Dari peringatan 100 harinya Gus Dur ini, semoga kita bisa mengambil ‘ibrah untuk menjadi bahan renungan bersama dan kemudian bersama-sama membangun Indonesia ke arah yang lebih maju. Hidup INDONESIA!