Muhammad Tholhah Al Hadi
Malang, 5 April 2010
Lima kata itulah yang menjadi tema pada peringatan 100 hari wafatnya KH. Abdurrahman Wahid (04/04/10). Sebuah deretan kata yang penuh akan makna, bagi saya sendiri maupun masyarakat Indonesia pada umumnya, karena begitu banyaknya para peziarah yang ingin menjadi saksi atas cinta mereka pada mantan Presiden keempat tersebut. Lebih dari itu, mereka rela berbondong-bondong dari berbagai sudut kota di Indonesia untuk sekedar mendoakan Gus Dur yang insyaAllah telah mendapatkan tempat yang damai di sisi-Nya.
Saat melewati Pondok Pesantren Tebuireng, mata ini dibuat takjub karena deretan bus-bus sudah rapi berjejeran, padahal waktu itu masih siang. Para peziarah bertebaran di mana-mana layaknya gerombolan semut yang ingin mendekati gula. Sungguh basar balasan Allah bagi mereka yang mencintai umatnya.
Peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur bertepatan dengan hari Ahad, maka tidak heran selama perjalanan saya bisa melihat padatnya kendaraan yang lalu-lalang, seolah mereka menyapa saya setiap detik. Pada saat yang bersamaan, kebetulan saya juga ada keperluan untuk menghadiri undangan pernikahan (Eva Shofiyana) yang beralamatkan di daerah Mojoagung-Jombang. Mempelai wanitanya adalah teman satu pondok waktu di PP. As Sa’idiyah Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang, dan sekarang satu kampus di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
De Javu, itulah yang sepertinya terjadi, yakni hujan mengguyur Jombang sesaat sebelum acara inti peringatan 100 hari wafatnya Gus Dur dimulai. Beberapa saat yang lalu (40 harinya), keadaan yang seperti itu terjadi. Alam sepertinya masih sedih ditinggal sembunyi oleh Gus Dur di balik kesunyian tanah. Tanpa menafikan gejala alam yang mungkin saja terjadi kapanpun, semua itu adalah tanda kebesaranNya. Semoga tanah Indonesia semakin subur karena yang turun pada saat itu adalah hujan rahmat.
Kalau dulu (peringatan 40 hari) Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. dan KH. Musthofa Bisri yang diberikan kesempatan menguraikan kata-katanya di depan ribuan peziarah makam KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahid Hasyim, Gus Dur, dan keluarga. Kini di tempat yang berbeda budayawan Sujiwo Tejo dan hadlratussyeikh KH. Maimun Zubeir bergiliran memberikan deretan kata terindah untuk al maghfurlah KH. Abdurrahman Wahid.
Dalam kesempatan tersebut, ada satu hal yang rasanya cukup menarik dari sambutan Sujiwo Tejo untuk kita jadikan sebuah refleksi diri. Dengan gayanya yang khas, dia menggambarkan sosok Gus Dur sebagai Semar dalam dunia pewayangan. Lanjutnya, dia mengatakan bahwa senjata yang paling ampuh bukanlah panah pasopati Arjuna, tapi kentut Semar, bahkan para dewapun takut dengan kentutnya Semar. Dalam dunia kebudayaan, kentut digambarkan sebagai sesuatu yang kotor, bau, dan tabu. Namun lebih dari itu, ada suatu nilai moral yang terselip di dalamnya, yakni keberanian untuk melakukan hal-hal yang dianggap tabu oleh masyarakat. Dalam konteks ini, dia mencontohkan bahwasannya kalau dulu komunitas Tionghua dianggap ‘tabu’ di Indonesia, namun Gus Dur dengan sangat gagahnya membuka dan bahkan meresmikan ke-tabu-an sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kekayaan bangsa.
Sangat tidak salah kalau kemudian saya merefleksikan hal tersebut ke dalam kehidupan sekarang, di mana kita sudah terlanjur terbiasa tutup mulut terhadap sesuatu yang dianggap tabu. Secara dzohir, seseorang yang terbiasa menahan kentut karena gengsi atau jaga image, saya kira dia akan lebih menderita kemudian karena dia pada dasarnya belum mengetahui betapa nikmatnya bisa kentut. Dengan kata lain bahwasannya kentut itu memang tidak untuk disimpan, namun dikeluarkan.
Saat ini sudah terlalu banyak dari kita (bahkan saya sendiri) bersikap munafik terhadap hati nurani. Kita sulit untuk terbuka dan ceplas-ceplos saat menghadapi suatu keadaan. Di sisi lain, kita masih cenderung mengedepankan penampilan luar untuk sekedar harga diri. Seorang pengajar Al-Hikam pernah mengatakan bahwasannya orang berbahaya adalah orang baik; sopan, alim, pintar, cantik, tampan, dll. karena di situ terselip penyakit hati. Namun, hal tersebut mungkin dianggap terlalu ndakik-ndakik kalau kita pergi ke sana. Lebih mudahnya, kita bisa melihat tingkah elit politik kita saat mereka berlomba-lomba mencalonkan diri sebagai pemimpin daerah atau negara, bagaimana mereka dengan sangat manisnya melantunkan janji-janji oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Mereka adalah orang-orang berpendidikan, rajin shadaqah, dan bahkan alim. Untuk menilai mereka, kita akan kembalikan pada hati nurani masing-masing.
Dari peringatan 100 harinya Gus Dur ini, semoga kita bisa mengambil ‘ibrah untuk menjadi bahan renungan bersama dan kemudian bersama-sama membangun Indonesia ke arah yang lebih maju. Hidup INDONESIA!
0 komentar:
Posting Komentar