WELCOME TO EMBUN DELTA

M. Tholhah Al Hadi, S.S.

Aku Akan Selalu Merindukanmu

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan Kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Pages

Kamis, 10 Maret 2011

Gallery

dengan cak majid (gondrong)
Noe-Haya (Sebelum Cahaya)
Gladi Bersih
Ceck-in lokasi
Hall Kartika Graha Hotel
Pemandangan dari bangku penonton
With NOE (Letto)

Hijauku dan Hijaunya



Hijauku bukan hijau biasa,
yang digunakan NU atau Persebaya
Hijauku memang luar biasa,
karena penuh dengan warna
Hijauku sungguh langka,
karena aku tak pernah memilikinya

Hijaunya penuh dengan makna,
meski ku sulit memahaminya
Hijaunya sungguh indah,
hingga mata tak sanggup memandangnya
Hijaunya tak ‘kan pernah berubah,
karena tak seorangpun berani mendekatinya

Malang, 10 Maret 2011

CERMIN DALAM PERBEDAAN



Manusia diciptakan dengan beragam karakter, warna kulit, suku, dan bangsa. Bahkan orang yang terlahir ‘kembar’pun pada hakikatnya memiliki banyak perbedaan. Kita sadar bahwa tidak ada yang sama di dunia. Sayangnya, tidak sedikit di antara kita yang masih ‘enggan’ menerima keberagaman dalam arti yang sebenarnya. Artinya, kita masih secara parsial dalam menerima makna keberagaman. Kita seolah dipisahkan oleh skat dalam dan antar golongan.

Perbedaan memang seringkali menjadi jurang yang memisahkan antara satu dengan yang lain. Kalau meminjam istilah dari KH. Syairozi (Babat-Lamongan), “betah dengan bau keringat sendiri, namun tidak betah dengan bau keringat orang lain.” Dengan kata lain, kita masih sulit menerima perbedaan. Kita mungkin betah ketika mencium keringat sendiri, namun di sisi lain (sayangnya) tidak betah ketika dihadapkan pada bau keringat orang lain. Lebih jauh lagi, kita sepertinya secara ‘natural’ cenderung lebih suka menilai orang lain dari pada koreksi diri. Kesalahan yang kita seakan tidak meninggalkan bekas di permukaan.

Pada umumnya, kita memang sering secara tidak sadar bahwa apa yang selama ini kita lakukan telah dipandang buruk oleh orang lain. Lebih parahnya lagi, tidak jarang kita berkata buruk—meski dengan maksud bercanda—pada orang lain namun kita sendiri enggan menerima perkataan buruk dari mereka. Memang tidak mudah, karena fenomena ini tidak bisa dipecahkan layaknya membalikkan sebelah tangan. Bukankah semua membutuhkan proses? Namun entah berapa lama lagi persoalan seperti ini bisa dipecahkan. Agama telah meletakkan pondasi bagaimana kita seharusnya bersikap dan bertutur di ruang sosial. “Semoga kita—khususnya penulis—bisa bercermin sebelum keluar rumah.”
Malang, 10 Maret 2011
 

PENDIDIKAN DAN HATI MATAHARI


“Jangan menjadi gerhana!” Itulah secuil pesan yang dibawakan Novia Kolopaking dan Kyai Kanjeng dalam konser yang bertajuk Hati Matahari; Terlalu Lama Mereka Didustai Sampai Hanya Tuhan yang Menemani (5/3). Pesan tersebut bukan tanpa makna. Begitu dalam makna tersebut hingga terlalu dangkal kalau harus memahami secara tepat seperti yang diinginkan Emha Ainun Najib.

Semua elemen kehidupan pasti tak terlepaskan dari ‘cahaya matahari’, termasuk dunia pendidikan yang notabene dunia ilmiah. Tidak bisa dipungkiri lagi, saat ini pendidikan sedang mengalamai degradasi moral. Memang tidak semua lembaga pendidikan bernasib setragis itu, namun setidaknya fakta telah berkata demikian. Hal ini diperparah dengan kondisi yang menunjukkan begitu tingginya praktik komersialisasi di lembaga pendidikan ‘agama.’ Akibatnya, tidak sedikit mayarakat (yang kemudian) menganggap bahwa pendidikan itu mahal.

Orientasi pendidikan kini bergeser menjadi uang (pekerjaan). Setidaknya sebagian besar masyarakat—terlebih di kota—menganggap bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula kekayaannya. Semua ini tentu saja mengurangi sinar yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Bahkan, kini marak lembaga pendidikan modern yang (hanya) menitikberatkan pada intelektual mahasiswa—kecerdasan intelektual dijadikan tolak ukur utama. Lebih-lebih, mereka tidak lagi sungkan-sungkan menjajikan masa depan (pekerjaan) untuk mahasiswa. Akhirnya, pendidikan akhlak (moral) tidak lagi menjadi produk menarik bagi kebanyakan lembaga pendidikan untuk menarik perhatian orang tua calon mahasiswa.

Bagaimanapun, anggapan tersebut     tidak sepenuhnya salah karena lembaga pendidikan tersebut akhirnya mampu memunculkan generasi-generasi intelektual, hafal ratusan hadits dan (bahkan) al Quran. Namun, tidak bisa disangkal lagi bahwa tidak sedikit dari mereka (saat ini)  pada akhirnya tidak tersentuh ‘Cahaya Matahari’; kepandaian mereka disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi (korupsi); ratusan hadits justru dijadikan senjata untuk mengafirkan dan menyerang sesama muslim, dsb.

Sampai kapan kita akan bertahan dalam kegelapan ini? Terlalu lama sudah kita menjadi gerhana bagi diri sendiri. Kita sudah merindukan titik sinar ‘Hati Matahari’. Semoga pendidikan di Indonesia akan segera mendapatkan cahaya-Nya, karena Dia-lah Sang Pemilik Cahaya (QS An Nur: 35).

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Malang, 10 Maret 2011

Senin, 07 Maret 2011

MEMAKNAI ‘HATI MATAHARI’ (Sebuah Jejak yang Tertinggal dari Konser Novia Kolopaking dan Kyai Kanjeng)



Malang, 6 Maret 2011

Fantastis! Segala pujian hanya pantas untuk-Nya. Ketika nalar sudah tak lagi mampu menjangkau, Dia (lagi-lagi) menunjukkan kuasa atas makhluk-Nya. Rasa pesimis pun singgah dari otak. Ribuan pasang mata menjadi saksi atas cerita ini, konser Novia Kolopaking dan Kyai Kanjeng.

Konser dibuka dengan lantunan bait indah Naya Haya Obal Ampak. Tiada ruang terang yang tersisa, hanya wujud putri kecil itu yang terlihat. Semua sorot mata penonton hanya tertuju pada putri cantik pasangan Emha Ainun Najib dengan Novia Kolopaking ini. Suara emasnya seolah menyihir penonton dalam keheningan.

Novia merespon suara Haya, putrinya tercinta. Sontak, hempasan tepuk tangan dari para penonoton menyertai iringan langkah Novia ke atas panggung. Maha Suci Bagi-Nya, suara Novia sungguh indah.  Setiap lantunan lagunya (bahkan sampai) merasuk ke dalam hati tanpa permisi.

Harta yang paling berharga adalah keluarga
Istana yang paling indah adalah keluarga
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara yang tiada tara adalah keluarga

Sedikit bait dari kecantikan suara Novia telah meletakkan “keluarga” sebagai pondasi awal kehidupan. Mulai dari ‘kyai’ hingga ‘pencuri’, semua membutuhkan keluarga. Keluarga adalah puncak segala-galanya. Bumi akan tetap dalam bentuknya manakala masih ada manusia yang mencintai keluarganya.

Hati Matahari dan Dua Gerhana

Konser Hati Matahari memang bukan produk ilmuan atau pelaku kebatinan, melainkan sekumpulan manusia yang mengutamakan hati dan perasaan, di samping penggunaan akal dan rasionalitas. Konser Novia-Kyai Kanjeng hanya mengambil satu dimensi dari ketidaksanggupan matahari menyembunyikan sakit hatinya.

Matahari memancarkan sinar ke bumi. Rembulan memantulkan sinar matahari ke bumi. Namun pancaran sinar matahari terkadang tertutup oleh rembulan. Rembulan ‘korupsi’. Dia telah mengambil cahaya matahari untuk diri rembulan sendiri. Sementara hak bumi mendapatkan sinar matahari tertutup oleh rembulan. Bumi dalam kegelapan.

Di saat yang berbeda, ada inisiatif dan kreativitas dari rembulan untuk mengolah pantulan cahaya matahari, namun bumi justru menutupi sendiri cahaya matahari. Dia telah memandulkan fungsi pantulan rembulan. Bumi dalam kegelapan.

Matahari adalah segala sumber dari segala yang dibutuhkan manusia. Rembulan adalah segala sesuatu yang memantulkan anugerah matahari kepada manusia di bumi. Sedangkan bumi adalah yang menikmati anugerah (manusia). Namun yang terjadi adalah dua gerhana, sehingga kesejahteraan tak sampai kepada yang berhak menikmatinya.

Dalam dimensi lain, matahari adalah Tuhan. Dia memiliki sumber cahaya yang dibutuhkan manusia. Pemerintah adalah rembulan, yang ditugasi dan diupah untuk mengolah cahaya Tuhan untuk dipantulkan ke bumi (rakyat).

Sesungguhnya, tatkala seorang penyanyi melantunkan lagu, yang dia lakukan adalah memantulkan cahaya keindahan, yang diterima dari Maha Sumbernya, kemudian ditaburkan kepada semua orang.

Begitupun semua pekerjaan manusia; ilmuan, dokter, dosen, hingga tukang becak sekalipun, tak lain yang dikerjakannya adalah menyalurkan berkah cahaya Tuhan untuk diberikan kepada sekitarnya.

Matahari, rembulan, dan bumi seharusnya ber-satu hati.

Sebuah refleksi dari konser ‘Hati Matahari’

Hall Kartika Graha Malang, 5 Maret 2011

HATI MATAHARI


Lagu : A. Untung Basuki
Lirik : Emha Ainun Najib

Aku tangisi
Hati matahari
Yang disakiti
Cahaya cintanya
Menaburi bumi
Ada yang menghalangi

Gerhana rembulan
Dan gerhana bumi
Berlomba menutupi
Berkanya Tuhan
Hamparan rejeki
Jadi tak sampai

Tuhan hakiki
Kaulah matahari
Penerang gelapnya
Hidup kami
Kiriman kasih sayangmu
Ada yang meracuni

Takkan bisa t’rus begini
Sejenak saja lagi
Zaman kan terkesima
Berganti
Cahaya
Cahaya
Cahaya