“Jangan menjadi gerhana!” Itulah secuil pesan yang dibawakan Novia Kolopaking dan Kyai Kanjeng dalam konser yang bertajuk Hati Matahari; Terlalu Lama Mereka Didustai Sampai Hanya Tuhan yang Menemani (5/3). Pesan tersebut bukan tanpa makna. Begitu dalam makna tersebut hingga terlalu dangkal kalau harus memahami secara tepat seperti yang diinginkan Emha Ainun Najib.
Semua elemen kehidupan pasti tak terlepaskan dari ‘cahaya matahari’, termasuk dunia pendidikan yang notabene dunia ilmiah. Tidak bisa dipungkiri lagi, saat ini pendidikan sedang mengalamai degradasi moral. Memang tidak semua lembaga pendidikan bernasib setragis itu, namun setidaknya fakta telah berkata demikian. Hal ini diperparah dengan kondisi yang menunjukkan begitu tingginya praktik komersialisasi di lembaga pendidikan ‘agama.’ Akibatnya, tidak sedikit mayarakat (yang kemudian) menganggap bahwa pendidikan itu mahal.
Orientasi pendidikan kini bergeser menjadi uang (pekerjaan). Setidaknya sebagian besar masyarakat—terlebih di kota—menganggap bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula kekayaannya. Semua ini tentu saja mengurangi sinar yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Bahkan, kini marak lembaga pendidikan modern yang (hanya) menitikberatkan pada intelektual mahasiswa—kecerdasan intelektual dijadikan tolak ukur utama. Lebih-lebih, mereka tidak lagi sungkan-sungkan menjajikan masa depan (pekerjaan) untuk mahasiswa. Akhirnya, pendidikan akhlak (moral) tidak lagi menjadi produk menarik bagi kebanyakan lembaga pendidikan untuk menarik perhatian orang tua calon mahasiswa.
Bagaimanapun, anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah karena lembaga pendidikan tersebut akhirnya mampu memunculkan generasi-generasi intelektual, hafal ratusan hadits dan (bahkan) al Quran. Namun, tidak bisa disangkal lagi bahwa tidak sedikit dari mereka (saat ini) pada akhirnya tidak tersentuh ‘Cahaya Matahari’; kepandaian mereka disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi (korupsi); ratusan hadits justru dijadikan senjata untuk mengafirkan dan menyerang sesama muslim, dsb.
Sampai kapan kita akan bertahan dalam kegelapan ini? Terlalu lama sudah kita menjadi gerhana bagi diri sendiri. Kita sudah merindukan titik sinar ‘Hati Matahari’. Semoga pendidikan di Indonesia akan segera mendapatkan cahaya-Nya, karena Dia-lah Sang Pemilik Cahaya (QS An Nur: 35).
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Semua elemen kehidupan pasti tak terlepaskan dari ‘cahaya matahari’, termasuk dunia pendidikan yang notabene dunia ilmiah. Tidak bisa dipungkiri lagi, saat ini pendidikan sedang mengalamai degradasi moral. Memang tidak semua lembaga pendidikan bernasib setragis itu, namun setidaknya fakta telah berkata demikian. Hal ini diperparah dengan kondisi yang menunjukkan begitu tingginya praktik komersialisasi di lembaga pendidikan ‘agama.’ Akibatnya, tidak sedikit mayarakat (yang kemudian) menganggap bahwa pendidikan itu mahal.
Orientasi pendidikan kini bergeser menjadi uang (pekerjaan). Setidaknya sebagian besar masyarakat—terlebih di kota—menganggap bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin besar pula kekayaannya. Semua ini tentu saja mengurangi sinar yang telah dianugerahkan Tuhan kepada manusia. Bahkan, kini marak lembaga pendidikan modern yang (hanya) menitikberatkan pada intelektual mahasiswa—kecerdasan intelektual dijadikan tolak ukur utama. Lebih-lebih, mereka tidak lagi sungkan-sungkan menjajikan masa depan (pekerjaan) untuk mahasiswa. Akhirnya, pendidikan akhlak (moral) tidak lagi menjadi produk menarik bagi kebanyakan lembaga pendidikan untuk menarik perhatian orang tua calon mahasiswa.
Bagaimanapun, anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah karena lembaga pendidikan tersebut akhirnya mampu memunculkan generasi-generasi intelektual, hafal ratusan hadits dan (bahkan) al Quran. Namun, tidak bisa disangkal lagi bahwa tidak sedikit dari mereka (saat ini) pada akhirnya tidak tersentuh ‘Cahaya Matahari’; kepandaian mereka disalahgunakan untuk memenuhi kepentingan pribadi (korupsi); ratusan hadits justru dijadikan senjata untuk mengafirkan dan menyerang sesama muslim, dsb.
Sampai kapan kita akan bertahan dalam kegelapan ini? Terlalu lama sudah kita menjadi gerhana bagi diri sendiri. Kita sudah merindukan titik sinar ‘Hati Matahari’. Semoga pendidikan di Indonesia akan segera mendapatkan cahaya-Nya, karena Dia-lah Sang Pemilik Cahaya (QS An Nur: 35).
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Malang, 10 Maret 2011
0 komentar:
Posting Komentar