Pages

Kamis, 10 Maret 2011

CERMIN DALAM PERBEDAAN



Manusia diciptakan dengan beragam karakter, warna kulit, suku, dan bangsa. Bahkan orang yang terlahir ‘kembar’pun pada hakikatnya memiliki banyak perbedaan. Kita sadar bahwa tidak ada yang sama di dunia. Sayangnya, tidak sedikit di antara kita yang masih ‘enggan’ menerima keberagaman dalam arti yang sebenarnya. Artinya, kita masih secara parsial dalam menerima makna keberagaman. Kita seolah dipisahkan oleh skat dalam dan antar golongan.

Perbedaan memang seringkali menjadi jurang yang memisahkan antara satu dengan yang lain. Kalau meminjam istilah dari KH. Syairozi (Babat-Lamongan), “betah dengan bau keringat sendiri, namun tidak betah dengan bau keringat orang lain.” Dengan kata lain, kita masih sulit menerima perbedaan. Kita mungkin betah ketika mencium keringat sendiri, namun di sisi lain (sayangnya) tidak betah ketika dihadapkan pada bau keringat orang lain. Lebih jauh lagi, kita sepertinya secara ‘natural’ cenderung lebih suka menilai orang lain dari pada koreksi diri. Kesalahan yang kita seakan tidak meninggalkan bekas di permukaan.

Pada umumnya, kita memang sering secara tidak sadar bahwa apa yang selama ini kita lakukan telah dipandang buruk oleh orang lain. Lebih parahnya lagi, tidak jarang kita berkata buruk—meski dengan maksud bercanda—pada orang lain namun kita sendiri enggan menerima perkataan buruk dari mereka. Memang tidak mudah, karena fenomena ini tidak bisa dipecahkan layaknya membalikkan sebelah tangan. Bukankah semua membutuhkan proses? Namun entah berapa lama lagi persoalan seperti ini bisa dipecahkan. Agama telah meletakkan pondasi bagaimana kita seharusnya bersikap dan bertutur di ruang sosial. “Semoga kita—khususnya penulis—bisa bercermin sebelum keluar rumah.”
Malang, 10 Maret 2011
 

0 komentar: