Pages

Senin, 27 Juni 2011

AL-HAFLATUL KUBRO PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM TAMBAKBERAS JOMBANG

KH. Musthofa Bisri (Gus Mus)

KH. Marzuqi Mustamar

Genderang perayaan al-Haflatul Kubro dalam rangka memeringati Hari Ulang Tahun Madrasah ke-96 dan Pondok ke-186 (Humapon) telah ditabuh. Ribuan alumni dan wali santri dari nusantara berbondong-bondong menuju Tambakberas. Malam ini adalah puncak dari seluruh hiruk-pikuk kegiatan pondok dan madrasah. Sementara esok, Tambakberas yang sesungguhnya akan terlihat, betapa sepinya desa ini tanpa lalu-lalang para santri. Satu-satu dari mereka akan dijemput orang tua berpulang ke rumah tuk menikmati libur panjang.

Malam ini terasa sangat istimewa dengan kehadiran meastro sastra-budaya, KH. Musthofa Bisri (Gus Mus). Meski rambut pria separuh baya ini tak lagi hitam, beliau tetap terlihat gagah dengan peci hitamnya. Kritikan tajam dihempaskan meluncur deras ke telinga kami, hingga membuat sebagian dari kami tertunduk malu hingga terpuruk dalam diam. Beberapa nasehat beliau antara lain:

Pendidikan

Hampir seluruh lembaga pendidikan formal di Indonesia—baik dari level sekolah dasar hingga perguruan tinggi—sudah meninggalkan makna ‘pendidikan’ (diambil dari kata ‘tarbiyah’). Lembaga pendidikan yang sejatinya tempat mendidik, telah banyak dialihfungsikan sebagai tempat pencarian pendapatan. Dengan kata lain, tugas guru/ dosen hanya menyampaikan materi pelajaran, tidak mau tahu dengan akhlak anak didik, ‘yang penting dapat gaji.’

Lebih parah lagi, kini telah berhamburan lembaga pendidikan yang menawarkan metode full-day school. Maka tidak heran kalau semakin banyak orang yang pandai namun tidak terdidik. Kalau diperhatikan, anak masih kecil kini sudah hafal Panacasila, namun mereka justru berbuat asusila. Sementara yang lain belajar hukum/ syari’at namun mereka justru melanggar hukum atau bahkan agar bisa lari dari jeratan hukum. Semua ini menunjukkan bahwa hakikat pendidikan telah menunjukkan kepunahannya. Hanya pesantren yang menjadi pertahanan terakhir, meski saat ini banyak juga pesantren yang lebih berorientasi pada kematangan intelektual.

Perbedaan

Tuhan menciptakan makhluk-Nya berbeda-beda. Namun tidak mudah bagi manusia menghargai suatu perbedaan, bahkan sebaliknya, menganggap bahwa perbedaan adalah musuh yang nyata. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa saat ini faham radikalisme berkembang pesat. Dalam dunia pendidikan, tidak jarang pelajar ataupun mahasiswa saling bentrok hanya karena beda partai ataupun pemikiran. Di sisi lain, beberapa kelompok radikal justru lebih memilih membumi hanguskan dan mengkafirkan  siapa saja yang berbeda kelompok atau tidak sealiran dengan mereka.

Entah tidak tahu atau tidak mau tahu, kita telah meninggalkan warisan yang berikan KH. Wahab Hasbullah, ahli ushul yang humanis dan KH. Bisri Sansuri, ahli fiqh yang berwatak keras. Dalam bahtsul masail, mereka boleh saja saling berdebat satu sama lain, bahkan sampai menggedor bangku. Namun, setelah keluar dari forum mereka saling berlomba menimbakan air untuk wudlu satu sama lain. Begitulah anugerah Tuhan yang telah menciptakan perbedaan, seperti halnya yang terjadi pada Abu Bakar, yang lemah lembut dan Umar bin Khattab, yang berwatak keras.
---
Di tempat yang sama, KH. Marzuqi Mustamar menutup malam ini dengan napak tilas yang dititipkan sang Guru Besar, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sungguh, status sosial dan gemerlap dunia tiada berarti tanpa restu Sang Penguasa. Seperti yang telah ditorehkan Gus Dur dalam syair “gampang kabujuk nafsu angkoro, ing pepaese gebyare ndunyo, iri lan meri sugihe tonggo, mulo atine peteng lan nistho.” Akhirnya, malam itu kami hanya bisa terpukau dan berbicara tanpa kata.

Secuil refleksi dari nasihat KH. Musthofa Bisri (Rembang) dan KH. Marzuqi Mustamar (Malang) dalam al-haflatul kubro pondok pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang 25 Juni 2011

0 komentar: